Ilustrasi |
Hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan
Remaja tahun 2019 (SPNHAR 2018) oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (KPPPA) menunjukkan satu dari 17 anak lelaki dan satu dari 11
anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Siapa pelakunya? Kebanyakan
adalah teman atau sebayanya (47%-73%) dan sekitar 12%-29% adalah kekasihnya.
Terdapat 3.528 kasus menurut Catahu Komnas Perempuan di tahun 2018, 76%
diantaranya adalah kekerasan terhadap perempuan di ranah publik seperti pencabulan,
pelecehan seksual, perkosaan dan persetubuhan. Organisasi non pemerintah yang
membantu penanangan kasus kekerasan terhadap perempuan Rifka Annisa setidaknya
menangani 40 kasus kekerasan seksual tiap tahunnya. Di tahun 2019, sebanyak 47
kasus ditanganin Rifka Annisa dan 24 di antara korbannya adalah anak dan
remaja.
Miris sekali, karena sebagian besar kasus yang
dialami anak dan remaja merupakan kasus incest, dimana pelakunya
adalah orang yang masih memiliki hubungan darah atau kerabat dengan korban,
seperti ayah kandung, ayah tiri, paman, kakek dan atau yang mengenal korban
dengan baik seperti tetangga, bahkan kekasih ibu korban yang sudah menjanda.
Tak terkecuali, guru dan staf pengajar. Alasannya, salah satunya adalah relasi
kuasa yang menjadikan pelaku memiliki kekuasaan dan dimanfaatkan untuk berbuat
kejahatan dan mengancam korban.
Kebanyakan
kasus, apakah dibawa ke ranah hukum?
Sebagian besar, ya. Karena saat ini masyarakat sudah
sadar hukum, tak seperti dulu yang lebih mengutamakan musyawarah dan jalan
damai. Untuk kasus yang terjadi pada remaja di bawah umur, proses hukum tetap
berjalan walau namun kemudian dilakukan diversi (penyelesaian di luar
pengadilan). Diversi di sini bahwa aparat penegak hukum menegaskan siapa yang
salah dan siapa yang benar. Ini penting untuk memenuhi rasa keadilan orang tua
dan korban.
Apa dampak
kekerasan seksual pada remaja?
Tentu, kekerasan seksual pada remaja tak hanya
berdampak pada korban namun juga orang tua dan sang pelaku.
Pada korban,
dampaknya adalah:
1. psikologis (stres, depresi, kecemasan, panik,
keinginan bunuh diri, self harm, gangguan klinis lainnya)
2. fisik (tertular IMS, kehamilan tidak dikehendaki,
aborsi, melahirkan di usia dini)
3. sosial (stigma negatif dari keluarga dan
masyarakat, dikucilkan, dikeluarkan dari sekolah, menjadi orangtua tunggal di
usia dini)
4. hukum (terlibat proses hukum, berlanjut dengan
KDRT dan perceraian)
Pada orang tua,
dampaknya adalah:
1. psikologis (malu, sedih, cemas, stres, depresi),
sosial (mendapat stigma buruk di masyarakat, dikucilkan)
2. hukum (terlibat proses hukum yang panjang, bahkan
terkadang proses hukum terhenti karena kekurangan alat pendukung bukti dan
saksi)
3. ekonomi (menanggung biaya yang ditimbulkan,
termasuk ketika terjadi kehamilan hingga ke pemeliharaan bayi dan anak)
4. fisik (terdampak pada kesehatan fisik, menjadi
lebih sakit-sakitan)
Pada pelaku,
dampaknya adalah:
1. hukum (berproses pidana)
2. sosial (malu di masyarakat, kehilangan pekerjaan)
3. psikologis (stres karena dipidana, atau pada
salah satu kasus pelaku ayah tiri mengalami depresi, tidak mau makan, hingga
meninggal dunia)
Bagaimana
penanganan dampak fisik dan psikologis yang terjadi?
Untuk dampak fisik, pemeriksaan medis dilakukan di puskesmas
atau rumah sakit. Di sebagian wilayah di Indonesia seperti di Yogyakarta,
pembiayaan medis bagi perempuan dan anak korban kekerasan gratis bagi pasien,
dijamin oleh Bapeljamkesos, melalui rekomendasi dari Forum Perlindungan Korban
Kekerasan (FPKK).
Beberapa rumah sakit di DIY memiliki unit khusus
untuk menangani perempuan dan anak korban kekerasan, dengan tenaga medis
terlatih dan mekanisme layanan yang ramah pada korban. Sementara itu,
penanganan psikologis dilakukan oleh konselor atau psikolog yang memiliki
lembaga layanan, seperti P2TP2A. Nantinya, akan ditetapkan apakah perlu rujukan
psikolog atau psikiater.
Lalu apa yang
harus kita lakukan, jika anak adalah korban kekerasan seksual dan mengalami
trauma?
Orang tua dapat menyampaikan cinta dan dukungan
tanpa syarat pada si anak, merangkulnya, dan menjadi pendengar yang baik. Ajak
anak untuk memeriksakan kondisi kesehatannya dan memberi pengertian pada anak
ketika memilih proses hukum, agar anak bisa memahami bahwa upaya orang tua
adalah demi kebaikannya. Dukung anak agar siap dalam menjalani prosesnya. Orang
tua dapat menghubungi lembaga layanan pendampingan untuk mendampingi mereka
menghadapi anak, maupun menentukan sikap dan membuat keputusan-keputusan
penting lainnya. Ingat, segala proses harus dilakukan dan diputuskan bersama
dengan anak, bukan keputusan sepihak dari orang tua.