Mendekatkan Anak dengan Budi Pekerti dan Menjauhkan dari Fenomena "Prank" Zaman Milenial

 


Anak-anak generasi hari ini, yang sering disebut generasi milenial dan generasi Z, seakan semakin jauh dari identitas budayanya. 

Dulu, di zaman saya, generasi pertengahan dari generasi kolonial menuju generasi milenial, masih merasakan pentingnya pendidikan budi pekerti. Adab sopan santun, seperti menjadi standar kehidupan sehari-hari, tanpa paksaan, tanpa penjadwalan.

Mengalir alamiah, sebagai perilaku sehari-hari yang melekat dalam kehidupan kita. Tanpa bermaksud menolak perkembangan arus teknologi yang semakin dasyat, dalam hati kecil saya, merasa miris ketika melihat anak kita lebih sibuk dengan gadget-nya, lalu asyik dengan gaya TikToknya. 

Budaya yang tidak ada di zaman saya kecil dulu. Saya sendiri mengalami, ketika anak sulung saya, sibuk dengan gadget-nya, ngevlog aktivitas sehari-hari untuk konten YouTubenya. 

Soal ini saya masih memberi dukungan, sepanjang positif, namun ketika anak saya mulai mengisi konten YouTubenya dengan hal-hal yang kurang produktif, saya menasehatinya. 

Namun, lambat laun dia pun berhenti membuat konten YouTube, bukan karena saya melarang, namun mungkin kejenuhannya sendiri. 

Saya memaklumi, anak seusia anak saya yang masih berumur 9 (sembilan) tahun, jiwanya masih sangat labil. Ia mengikuti saja naluri hatinya, ketika dia suka, dia akan melakukannya, ketika dia sudah tidak suka, dia akan berhenti dengan sendirinya. 

Sebagai orangtua, saya tidak menganjurkannya, namun juga tidak melarang aktivitas-aktivitasnya. Sebagai orangtua, saya cukup mengarahkan dan mengikuti perkembangannya. 

Saya memberikan kebebasan, sepanjang masih positif dan masih dalam pengawasan kita sebagai orangtua. Semua berjalan begitu saja, alamiah. Namun yang penting bagi anak-anak kita sebenarnya adalah pelajaran tentang budi pekerti, yang seakan hari-hari ini semakin ditinggalkan. Pun demikian di sekolah. 

Pendidikan budi pekerti rasa-rasanya semakin hilang, apalagi di tengah pandemi, yang beberapa bulan ini anak terpaksa dihadapkan dengan gadget untuk belajar jarak jauh. Budaya yang sebenarnya, jauh dari hakiki kemanusiaan. 

Bukan soal pembelajaran jarak jauhnya, namun seringkali kita lupa, bahwa pembelajaran jarak jauh, juga mempengaruhi gaya anak, karena seringnya menggunakan gadget untuk berkomunikasi, menerima materi pelajaran. 

Alhasil, gadget menjadi keseharian. Di luar materi pembelajaran jarak jauh, gadget juga tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Menjadi kebiasaan baru anak, dan menjadikannya ketergantungan. Fenomena ini sudah banyak terjadi. 

Manusia pada intinya adalah mahluk sosial yang secara naluriah, sambil mengenal dan bertatap muka dalam pergaulan sosial sehari-hari. 

Kondisi pembelajaran jarak jauh, pada waktunya akan menemui titik klimaks, di mana setiap orang akan selalu berusaha saling bertemu. 

Hal ini karena, secara alamiah dan naluriah hakiki manusia memang sedemikian adanya. Namun bagi anak-anak, titik klimaks soal itu belum bisa diprediksi, terlalu panjang waktunya, dan lebih cepat mempengaruhi perilakunya, dibanding waktu titik klimaks kebosanan anak terhadap percakapan melalui gadget. 

Bukan itu saja, di dalam gadget, menawarkan aneka rupa konten dan aplikasi yang sangat besar andilnya dalam mempengaruhi perilaku anak. Hal inilah yang harus kita cermati. 

Bukan saja kita sebagai orangtua, namun juga pemerintah yang memiliki kemampuan dalam pengendalian instrumen dalam mempersiapkan generasi bangsa di masa depan. 

Perkembangan teknologi memang tak bisa dihindari. Transfer teknologi dan transmisi pengetahuan sudah sedemikian gencarnya. 

Di berbagai kesempatan seringkali saya katakan, sehebat apapun teknologi diciptakan, bagi kita bangsa Indonesia, kecanggihan teknologi sebaiknya diarahkan untuk menjawab soal-soal kebudayaan. Akar dari jatidiri bangsa Indonesia, adalah terletak pada kekayaan budayanya. 

Pada kesempatan ini saya tidak bermaksud mengulas lebih panjang soal akar-akar kebudayaan Nusantara. Kembali soal anak, salah satu citra kebudayaan kita, adalah budi pekerti, yang diwariskan oleh leluhur secara turun temurun. 

Adap sopan santun, itu warisan budaya leluhur. Itu kenapa di Jawa, ada tata bahasa yang sedemikian teraturnya. Bahasa untuk sesama, seumuran, kawan dekat, akrab bisa menggunakan Bahasa Jawa ngoko. 

Lalu, ada bahasa jawa kromo alus, untuk percakapan orang lain yang tidak begitu dikenal, lebih tua, kakak ataupun sebaya namun kita baru saja berkenalan. Contoh sederhananya begitu. Ada juga kromo inggil, tata bahasa percakapan untuk orangtua, orang yang dihormati, dan sebagainya dan seterusnya. 

Pada intinya, kita memang dihadapkan pada tantangan yang berat. Di satu sisi transfer teknologi adalah proses dinamis yang sedemikian gencar terjadi, secara alamiah itu berlangsung dan harus kita terima. 

Namun, perkembangan teknologi pula, berbagai budaya bangsa luar, tanpa kita bisa cegah dapat masuk dalam ruang kebudayaan kita. Teknologi tak ada lagi batasan ruang dan waktu. 

Pada saat yang sama, fenomena budaya asing, bisa kita saksikan, tanpa membutuhkan proses panjang untuk sampai pada penglihatan mata dan pikiran kita. 

Sekali klik, semua dapat terlihat. Demikian juga, semua itu juga bisa diterima dan dilihat langsung oleh anak-anak kita. Setiap detik, menit, jam, hari. 

Pokoknya setiap saat. Kondisi demikian, jika berlangsung dalam waktu yang panjang, intensif atau setiap saat anak-anak kita bisa melihatnya, itu akan mempengaruhi cara berpikir anak kita. 

Pengalaman sederhana yang saya alami, suatu ketika di dalam pesawat di atas ketinggian 36 ribu kaki, ada seorang anak gadis menyalakan gadget-nya, di situ dia menonton, dancer K-Pop. 

Sepanjang perjalanan di udara, anak gadis itu tak henti-hentinya menirukan gaya dancer K-Pop itu. Sementara orangtuanya membaca majalah ataupun juga duduk tenang. 

Kondisi itu bisa jadi biasa saja bagi mata orang lain. Namun, mata saya menangkap, bahwa begitu tingginya pengaruh K-Pop mempengaruhi gaya hidup anak-anak kita, hari-hari ini. 

Begitu pula, segala bentuk varian video yang tampil di TikTok, yang disebarkan lewat berbagai akun Instagram, demikian pesatnya, kadangkala, tanpa kita sadari, kondisi itu sedemikian masifnya, tanpa kita pahami, gejala budaya baru telah terjadi. Budaya baru, yang sebenarnya terlepas konteksnya dengan kebudayaan leluhur kita. 

Kita sebenarnya memahami, kecanggihan teknologi sebenarnya alat belaka. Jika kita lebih cerdas memanfaatkan peluang, justru kecanggihan teknologi itu bisa kita manfaatkan untuk menyebarluaskan informasi pendidikan, pengetahuan dan kebudayaan dalam rangka pencerdasan anak-anak kita sebagai generasi penerus bangsa. 

Namun, kita rupayanya kuwalahan memahami itu, sehingga tidak siap siaga menyematkan filter, sehingga kecanggihan teknologi itu tidak sekedar aplikasi yang hanya kita nikamti konten-kontennya, tapi lebih besar seharusnya kita manfaatkan untuk menyebarluaskan konten pendidikan, pengetahuan, kebudayaan dalam rangka pencerdasan dan penguatan karakter anak-anak kita. 

Yang terjadi sekarang, anak-anak kita seperti terlena menikmati konten aplikasi, yang konten-kontennya itu entah berasal dari mana saja dan lebih banyak lepas dari konteks kebudayaan kita. 

Saya kira ini yang perlu dipikirkan, bukan soal regulasi membatasi anak-anak generasi kita menikmati konten aplikasi, tetapi bagaimana ada batasan soal konten-konten yang bisa di-filter, lalu memanfaatkan aplikasi untuk menyebarluaskan konten-konten yang mendidik, mencerdaskan dan menguatkan karakter anak-anak kita sebagai generasi penerus bangsa. 

Saya sebenarnya miris, dengan semakin merebak dan banjirnya fenomena "prank" di tanah air kita, yang pada umumnya dilakukan oleh perilaku generasi milenial. 

Tanpa bermaksud menyalahkan siapa-siapa, dan juga tanpa bermaksud menuding siapa-siapa atau menganggap saya benar sendiri. Namun fenomena "prank" sebenarnya gejala yang tidak sehat dan cenderung mengarah patologis. 

Mungkin pernyataan saya ini dianggap mengada-ada, tidak gaul, norak dan sebagainya. Silakan saja, tapi fenomena "prank" yang tidak sehat, cenderung merusak mentalitas generasi milenial. 

Bagi sebagian orang, fenomena "prank" bisa jadi hanya lucu-lucuan, seru-seruan. Tapi lihat, demikian masifnya fenomena "prank" dan sedemikian parah dampaknya. 

Para sahabat bisa mencari informasi-informasi aktual seputaran dampak "prank", para korban dan semua peristiwa dan percakapan yang berkembang, buntut masifnya "prank" yang tak terkendali. Masih ingat khan pelaku "prank" yang dibully dan dibui?

Sebagai orangtua, kita tentu punya tugas berat, tapi jangan jadikan beban yang sarat. Kita memang harus sadari mendidik anak melalui budi pekerti adalah tugas berat, ditengah menjamurnya fenomena budaya asing yang kian merebak. 

Fenomena "prank" yang seakan menjadi budaya baru, hampir tidak kita ketahui asal usulnya, tiba-tiba menyeruak menjadi kebiasaan baru, bahkan menjadi tingkah laku sehari-hari. 

Sebenarnya, dalam kondisi patologis, fenomena budaya "'prank" bisa jadi juga karena fenomena halusinasi. Kita pasti tidak mau khan, kalau kita hidup di zaman halu? Kita tidak mau khan kalau generasi kita disebut generasi halu?

Sudah saatnya memang kita memikirkan kembali, pembelajaran dan pendidikan budi pekerti semakin diperkaya, baik melalui sekolah formal maupun melalui sekolah-sekolah informal, termasuk pendidikan di rumah.

Ada saatnya memang kita butuh waktu dan kepedulian yang lebih cermat, bahwa pendidikan budi pekerti berbasis budaya, semakin dibutuhkan segera penerapannya. Entah melalui kurikulum formal, maupun muatan lokal. 

Regulasi di tangan pemerintah, namun saatnya kita sebagai orangtua, mulai mengarahkan anak untuk memahami pendidikan budi pekerti, dalam berbagai varian yang bisa kita adaptasi, tanpa mengebiri kreativitas dan inovasi anak akan kegandrungannya dengan dunia teknologi digital. 

Teknologi digital adalah keniscayaan perkembangan zaman, namun teknologi sebagai alat, bisa kita manfaatkan untuk membantu menyebarluaskan informasi pendidikan dan pembelajaran yang mencerahkan serta menguatkan karakter anak berdasarkan budaya kita yang kaya akan pesan moral dan kebijaksanaan. 

Demikian, salam budaya...salam lestari

 

Baca Juga

>

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Share This Article Now!!!