PENTINGNYA HIDUP BERASRAMA
Bersekolah di sekolah asrama tentunya meningkatkan kemandirian anak. Ada atau tidaknya orang tua tentu membawa pengaruh besar terhadap pola hidup siswa. Kebanyakan akan merasa depresi atau kesepian karena tidak ada orang tua yang bisa dijadikan tempat berkeluh kesah apabila siswa menghadapi masalah di sekolah. Namun disinilah siswa belajar berusaha untuk menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa berlari ke orang tua. Absennya orang tua juga membuat siswa lebih membuka diri kepada orang lain—teman sekamar, contohnya—sebagai tempat bercerita. Hal ini mengasah kemampuan berinteraksi dan sosialisasi siswa.
Karena tinggal di asrama berarti tinggal bersama orang lain, maka tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan kita di luar sekolah juga dilakukan di sekitar orang lain. Secara tidak langsung, siswa belajar bertoleransi dan berbagi. Contohnya, siswa dapat meminta bantuan kepada temannya apabila ia kesulitan dalam mengerjakan tugas. Berbagi hal-hal kecil tentu tidak dapat dihindari, seperti berbagi makanan ringan, tempat tidur, sabun, bahkan saling pinjam-meminjam pakaian. Latar belakang siswa yang berasal dari daerah berbeda, budaya, tingkat kecerdasan, dan sikap yang berbeda-beda mampu melatih pola pikir siswa agar berpikir terbuka, menghargai perbedaan, dan mampu memaklumi kebiasaan/budaya orang lain yang berbeda dari kebiasaannya.
Kehidupan di sekolah berasrama dikenal dengan kepatuhan dan kemandirian siswanya yang dapat tercermin dari kemampuan siswa untuk mandiri tidak hanya secara emosi melainkan juga melainkan juga tingkah laku dan pandangan hidup. Sekolah berasrama mengajarkan siswa untuk memiliki disiplin dan kesadaran diri dalam melakukan kegiatan apa pun, sehingga nantinya mereka dapat memahami manfaat dari apa yang telah mereka lakukan.
Kemandirian di sekolah berasrama meliputi kemandirian dari segi pribadi dan kemandirian dari segi sosial, bergaul dengan teman- temannya secara baik dengan tidak membeda- bedakan antara teman satu dengan teman yang lain, selalu berpikir positif tidak terlalu berburuk sangka, saling bekerja sama dan tolong menolong dalam kebaikan. Selain itu juga terlihat dari aturan- aturan yang dibuat untuk menunjang terciptanya kepatuhan dan kemandirian siswa dalam melaksanakan kehidupannya sehari-hari, walaupun tetap saja semua itu kembali kepada kepribadian masing-masing siswa dan kecerdasan emosi yang dimilikinya.
Budaya disiplin dan mandiri ini juga diharapkan mampu menimbulkan jiwa kepemimpinan siswa. Jiwa kepemimpinan dan kemandirian sangat penting bagi siswa, sebab siswa dipersiapkan untuk menjadi pemimpin umat di masa yang akan datang, pemimpin yang mampu mengatur hidupnya dengan ilmu yang dimiliki dengan penuh tanggung jawab serta penuh dedikasi tanpa selalu bergantung kepada orang lain.
Seperti yang sudah ditulis di atas, sekolah berasrama mewajibkan adanya kegiatan asrama sehingga tidak ada waktu siswa yang terbuang percuma dalam kurun waktu 24 jam sehari. Sayangnya sistem pendidikan asrama ini seperti dua sisi mata uang karena pada sisi lain dapat menghasilkan pribadi pemberontak yang menabrak segala aturan yang ada, antara lain dengan perilaku bullying dan mencuri.
Tinggal dengan orang lain, dengan bermacam karakter dan latar belakang tentunya juga membawa dampak negatif bagi tiap-tiap individu. Bagaimana pun juga, menyatukan sekian banyak kepala di dalam satu lingkungan yang mengharuskan bertemu dari pagi hingga malam bukanlah perkara mudah. Terutama jika terdapat kesenjangan sosial di antara penghuni asrama, misalnya golongan cantik dan tidak begitu cantik. Atau yang paling umum, golongan senior dan junior.
Kebanyakan asrama memiliki senioritas yang sangat kuat, yang diwariskan secara turun-temurun dari senior yang sudah lulus ke juniornya yang “naik pangkat”. Jabatan pengurus-pengurus asrama (ketua asrama, bendahara, sekretaris, dan seksi-seksi) biasanya diserahkan kepada senior tertinggi sebelum akhirnya mereka mengikuti UN. Ketika masa-masa UN sudah dekat, jabatan ini diserahkan kepada junior setingkat di bawahnya hingga nanti mereka juga harus menghadapi Ujian Nasional.
Tentu saja maksud dari kepemilikan jabatan yang dipegang senior ini baik: karena mereka telah lebih lama tinggal dan lebih mengerti peraturan-peraturan di asrama. Para petinggi asrama ini mengatur pemakaian kamar mandi, jadwal bersih-bersih, dan lain sebagainya yang tidak dapat ditangani sendirian oleh penjaga asrama.
Namun terkadang adanya kekuasaan ini justru disalah gunakan oleh oknum-oknum tertentu agar dapat memiliki wewenang atas juniornya. Bukan hanya tentang kedisiplinan namun juga di kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, setiap tingkah laku junior harus dibingkai dengan kesopanan dan patuh terhadap senior. Tentu saja itu termasuk hal baik ketika yang muda dapat menghormati yang lebih tua, tetapi konteks menghormati disini tidak sesuai dengan praktek yang ada di lapangan dimana junior cenderung segan, takut, bahkan trauma terhadap “kakak”-nya sendiri.
Selain bullying, mencuri juga merupakan satu perilaku negatif yang biasa ditemukan di asrama. Perbedaan budaya, latar belakang, pola pikir, dan status sosial membuat perilaku ini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan berasrama. Barang yang dicuri bukan hanya berupa uang namun juga jam tangan, baju, makanan, perlengkapan sekolah, dan lain-lain. Biasanya perilaku ini didukung oleh adanya rasa iri karena teman memiliki barang yang lebih bagus serta adanya kesempatan yang besar, mengingat kebanyakan kamar asrama sering dimasuki oleh teman-teman dari kamar tetangga. Hal ini memang tidak terlalu merugikan pemilik dalam hal materi, tapi perilaku seperti ini dapat merusak moral dan karakter siswa jika menjadi kebiasaan.
Berkaitan dengan hal di atas maka hal pertama yang harus dilakukan adalah pengasuh di asrama harus melakukan pendekatan terlebih dahulu terhadap senior secara terus menerus dan mencoba menjelaskan fungsi peran dan jabatan yang dimilikinya sehingga senior dapat membantu tugas pengasuh asrama dalam membimbing para junior.
Baca Juga
>