Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak
menuju dewasa. Anak-anak sudah bukan, dewasa masih belum. Remaja adalah
masa-masa cinta monyet, syndrom kelas dua, halu akut, dan gabungan momen-momen
memalukan lainnya yang lebih baik dikubur di belakang rumah. Fase remaja
memiliki tiga tingkatan; remaja awal, remaja pertengahan, dan remaja akhir atau
dewasa awal.
Remaja dapat dikatakan memasuki fase dewasa awal
apabila berusia kisaran 18 hingga 30 tahun. Masa dewasa awal adalah masa
tanggung dan krisis identitas. Bayangkan saja, remaja yang sebelumnya selalu
dimomong-momong, disediakan ini-itu, tiba-tiba harus menentukan tujuan
hidupnya, memilih jenjang karirnya, memikirkan kehidupan cintanya untuk nanti
bisa berumah tangga, memomong anak di halaman rumah tingkat dua yang luas
dengan pagar putih. Semuanya terjadi dalam periode yang singkat dan tentu dapat
mengejutkan. Layaknya burung yang baru menetas kemudian disuruh terbang dengan
sayap yang masih basah oleh lendir.
Peristiwa ini dalam ilmu psikologi disebut dengan
istilah “quarter life crisis” atau yang diterjemahkan secara kasar menjadi
“krisis seperempat kehidupan”. Quarter life crisis adalah fase pencarian jati
diri. Seperti sebuah petualangan mencari harta karun yang akan mengantarkan
seorang remaja mendapati koin emas di ujung pelangi. Pada masa ini, layaknya
sebuah petualangan yang sering digambarkan di film-film, pasti terdapat
tantangan yang harus dilewati oleh si tokoh utama demi mendapatkan harta karun
yang didambanya.
Setiap tantangan yang dialami tentu tidak selamanya
berjalan dengan mulus. Terkadang ada masa sulit yang harus dilalui dalam proses
pendewasaan dan tidak jarang dapat menimbulkan tekanan batin. Meski terdengar
menyeramkan—bahkan 86% remaja menilai mereka sering merasa tidak nyaman,
kesepian, dan depresi pada periode ini—fase quarter life crisis merupakan
proses penting yang perlu dialami individu untuk lebih mengenali dirinya.
Ilustrasi bunga yang mekar pada malam hari
Ungkapan yang tepat untuk menggambarkan hal ini mungkin,
“biarkan bunga mengingatkan kepada kita mengapa hujan itu perlu”.
Dengan beberapa malam mempertanyakan eksistensi
dirinya dapat membawa seseorang lebih mengenali dirinya sendiri. Beberapa waktu
cemas dengan ketertinggalannya dapat memimpinnya kepada jalan hidupnya.
Beberapa masa terhanyut dalam kebimbangan dapat menuntun seseorang menjadi
pribadi yang lebih bijak dan tangguh.
Namun, setiap individu memiliki ketahanan mental
yang berlainan satu dengan yang lain ketika menghadapi suatu permasalahan yang
tentunya tidak boleh dipukul rata atas dasar apa pun. Dapat kita gambarkan
seperti karakter dalam game yang dibekali penciptanya dengan ketahanan yang
berbeda. Permasalahan dalam kehidupan, dalam hal ini kita ibaratkan dengan
serangan dari musuh, dapat mengurangi HP (health point) karakter dengan nilai
yang berbeda dengan karakter lain yang memiliki defense lebih kuat atau lemah.
Artinya, permasalahan yang sama boleh jadi ditanggapi dengan cara yang berbeda
dan memiliki dampak yang berbeda.
Beruntunglah mereka yang tahan banting. Remaja
dengan mental yang kuat cenderung lebih dapat memposisikan dirinya terhadap
masalah yang dihadapi, vice versa. Masalah yang ada dan dirasa berat untuk
dijalani ditambah keadaan mental yang cenderung lemah dikhawatirkan menjadi bom
waktu yang berpotensi memicu depresi.
For your information, nih ya, depresi bisa menjadi
pemicu seseorang terkena stroke, diabetes dan kanker karena mental illness ini
memengaruhi sistem kekebalan tubuh. Bahkan, penelitian dari Mental Health
Foundation menyebutkan bahwa seseorang dengan depresi memiliki risiko
peningkatan risiko penyakit jantung koroner. Menakutkan.
Oleh karena itu, bahasan tentang kesehatan mental
menjadi penting. Apalagi selama Pandemi Covid-19, sebesar 30,1% yang melaporkan
dirinya mengalami gejala kecemasan dan atau gangguan depresi. Pandemi ini
merupakan tantangan global yang anyar. Tidak semua orang dapat beradaptasi
dengan situasi baru, apalagi mereka yang berada dalam fase dewasa awal.
Menghadapi perubahan tantangan dalam hidupnya sudah cukup mengguncang, ditambah
dengan masalah sebesar pandemi. Sungguh tahun yang tidak menyenangkan bagi
mereka, bukan?
Sayangnya, kesehatan mental sering kali tidak
dihiraukan urgensinya. Sama nasibnya seperti pencapaian-pencapaian lagu
“Butter” milik BTS yang tidak digubris oleh Grammy. Bagaimana bisa “Butter”
yang selama sepuluh pekan menduduki singgasana #1 HOT 100 Billboard tidak
dinominasikan sebagai Record of The Year atau Song of The Year? Sungguh
mengherankan. Namun, begitulah adanya, gangguan kesehatan kurang diperhatikan
karena tidak terlihat dampak nyatanya. Padahal, kesehatan mental mempunyai
dampak yang signifikan terhadap manusia.
Kesehatan mental juga perlu diprioritaskan, sama
halnya dengan kesehatan fisik. Keduanya bagaikan dua sayap burung yang
berbarengan menyokong manusia. Dua sobat seperti Sherlock Holmes dan rekannya,
Dr. John Hamish Watson--sebenarnya kita tidak benar-benar mengetahui nama
tengah Watson karena sumber yang menyebutkan nama tengahnya adalah Hamish
merupakan sumber non-canon, yaitu cerita yang tidak ditulis langsung oleh Conan
Doyle, tapi kalian tau maksudku, kan? Seperti larutan Alpha Hydroxy Acid yang
berkawan dengan Beta Hydroxy Acid. Kesehatan fisik dan kesehatan mental
berhubungan erat seperti itu.
Pembahasan akan pentingnya kesehatan mental sering
menimbulkan stigma dalam masyarakat. Maka dari itu, pembahasan terkait hal ini
harus mulai digemborkan agar topik ini tidak lagi menjadi pembicaraan yang
tabu. Kesehatan mental bukan merupakan masalah individu. Semua lapisan
masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama untuk mencegah dan membantu
penyembuhan pengidap gangguan kesehatan mental.
Apabila topik kesehatan mental berhasil
dinormalisasikan, akan tercipta lingkungan yang ramah dan suportif. Lingkungan
yang seperti ini turut mendorong kesempatan bagi mereka yang mengalami gangguan
kesehatan mental untuk mendapatkan rehabilitasi tanpa perlu mengkhawatirkan
anggapan negatif yang selama ini berkembang di masyarakat.
Penulis: Andini Rohmawati dan Verdiana Nailuvar El
Sandy
Data Referensi:
Industry.co.id (2020). Ada Hubungan Kesehatan Mental
dengan Kesehatan Fisik, Jangan Remehkan! - Industry.co.id. [online]
Industry.co.id. Available at:
https://www.industry.co.id/read/73236/ada-hubungan-kesehatan-mental-dengan-kesehatan-fisik-jangan-remehkan
[Accessed 27 Nov. 2021].
KFF. (2021). The Implications of COVID-19 for Mental
Health and Substance Use – Issue Brief – 9440-03. [online] Available at:
https://www.kff.org/report-section/the-implications-of-covid-19-for-mental-health-and-substance-use-issue-brief/
[Accessed 27 Nov. 2021].
Redaksi Halodoc (2021). Jangan abaikan kesehatan
mental. Pasalnya, kesehatan mental juga bisa pengaruhi kesehatan fisik. Ini
alasannya. [online] halodoc. Available at: https://www.halodoc.com/artikel/kesehatan-mental-bisa-memengaruhi-kesehatan-fisik
[Accessed 27 Nov. 2021].