Namaku Ainan. Orang-orang mengenal aku sebagai
pemilik pribadi yang ceria. Ternyata tidak begitu. Mereka tidak tahu apa yang
sebenarnya terjadi pada hidup aku atau aku yang harus berjuang di tengah rasa
sesal yang terus menyerang hidupku. Entahlah rasanya aku ingin menyerah. Tapi
jika menyerah sama saja aku kalah. Kalah dari kehidupan yang sudah ditakdirkan
oleh Tuhan.
Sekarang aku ingin membagikan sama kalian tentang
penyesalan aku. Agar kalian tidak merasakan hal yang sama. Inilah kisahku.
“Kamu itu jangan jajan mulu. Ayah perhatikan kamu
sering sekali beli barang-barang tidak berguna dan berakhir di tempat sampah.
Daripada kamu jajan-jajan tidak jelas, lebih baik uang itu ditabung lewat
ayah.”
“Nabung ke ayah? Ayah mau merampok aku secara tidak
langsung?”
“Kamu itu selalu saja bantah omongan ayah. Kalau ibu
kamu yang minta uang saja, tanpa mikir lagi pasti kamu langsung kasih.”
Aku hanya bisa mendengus. Hatiku sudah tertutup awan
hitam. Kelakuan ayah selama ini sudah membuatku buta dan menganggap ayah itu
jahat. Dengan segala kekesalan aku memandang tajam ayah, “kalau ayah mau uang
itu bilang saja. Jangan malah bawa-bawa ibu.”
Ayah balik mendengus kemudian menatap aku tajam,
“mungkin selama ini sikap ayah salah sama kamu. Jadi maafin ayah tapi ayah
harap kamu nggak memendam rasa benci itu terlalu dalam untuk ayah. Kalau selama
ini kamu juga terganggu dengan sikap ayah, sekali lagi ayah minta maaf. Ayah
tidak bermaksud begitu.”
“Memang. Aku benar-benar terganggu sama sikap ayah.”
“Ainan,” suara bundanya menyadarkan aku. Seolah
memberi tahu perempuan itu untuk diam.
Namun aku menutup telinga dan balik menatap tajam
tubuh ringkih ayah, “sudah cukup yah. Aku cape. Lebih baik aku kerja di luar
kota daripada harus lihat ayah marah-marah terus."
"Nak."
Aku menarik napas dalam dan meninggalkan ayah begitu
saja.
***
Setelah perseteruan terakhir itu, aku tidak pernah
mendengar lagi kabar ayahku. Aku memilih pergi keluar kota tanpa izin ayahku.
Tiga tahun lamanya, aku bekerja di luar kota tanpa pulang ke rumah. Entah aku
sampai lupa berapa kali ibu dan ayahku terus menelepon dan berakhir aku diamkan
sampai telepon itu mati sendiri. Aku tidak pernah memikirkan banyak hal, yang
aku rasakan aku hanya hidup bahagia saja tanpa kehadiran orang tuaku.
Sampai suatu hari, aku terserang demam hebat.
Berkunjung ke dokter juga tidak kunjung membaik, “apa aku pulang saja?” pikirku
dalam suatu malam.
Akhirnya dengan menyewa mobil dan sopir aku
memantapkan hati
untuk pulang ke rumah. Berharap mendapat maaf dari
ayah dan ibu.
“Bagaimana kalau ayah tidak memaafkanku? Bagaimana
kalau ayah merasa kurang dengan uang kiriman aku setiap bulannya dan jadi marah
saat nanti lihat aku?” Aku terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan
menimpaku.
Dua jam lamanya aku berada di antara kerumunan
mobil-mobil, sampai akhirnya aku tiba di sebuah rumah yang sangat aku rindukan.
Sebuah rumah yang menciptakan kenangan indah maupun buruk. Sebuah rumah yang
menjadi saksi tumbuh kembang hidupku.
Dengan rasa haru yang luar biasa aku memasuki rumah,
namun gelap. Seperti tidak ada kehidupan di dalam rumah. Dengan kepanikan yang
luar biasa aku memasuki semua kamar dan akhirnya menarik napas lega saat
mendapati ibu meringkuk di balik selimut.
“Ibu?”
Ibu berbalik dan tersenyum lirih. Tubuh ringkihnya
menggapaiku membuat aku menghampur kepelukan ibu, “kenapa baru pulang sekarang
nak? Setelah ayahmu sudah pergi,” ucapnya lirih. Benar-benar lirih. Sampai aku
harus bertanya lagi, tapi jawaban ibu membuat pelukanku mengendur dan perlahan
jalan mundur.
“Maksud ibu apa?”
Ibu tidak menjawab, tapi mengambil sebuah kertas di
bawah bantal. “Mungkin ayahmu terlalu keras mendidikmu. Tapi percayalah, semua
itu demi kebaikan kamu. Kalian hanya berselisih paham.”
“Ibu bohong kan?” Tanyaku masih tidak percaya.
“Kamu baca saja surat itu dan buka buku tabungan
yang ayahmu titipkan ke ibu untukmu. Setelah kamu tenang ibu akan ajak kamu ke
makam ayahmu,” aku masih diam. Tidak tahu harus menjawab apa, namun ucapan ibu
membuat aku menangis dengan kencang, “bahkan ayahmu menghembuskan napas
terakhir setelah mengatakan rindu padamu.”
***
Untuk anak ayah tersayang,
Bagaimana kabar
kamu nak? kamu baik-baik saja kan? sejujurnya ayah khawatir sama kamu karena
tidak pernah mendengar kabar kamu sama sekali. Ingin rasanya ayah mendatangi
tempat tinggalmu, tapi ayah tidak mau lagi menyusahkan kamu.
Oh iya nak, maaf
kalau kamu merasa ayah cuman beban untuk hidupmu. Tapi yakinlah kalau semua
perbuatan ayah itu untuk kebaikanmu juga. Ayah tidak mau kamu berakhir seperti
kakak kamu yang harus terpaksa menikah muda karena pergaulan bebas.
Ayah tidak
bermaksud membuat kamu membenci ayah. Ayah juga tidak bermaksud untuk membuat
kamu hidup dengan kekangan ayah. Sudahlah, ayah tidak mau melihat kebelakang
lagi. Karena ayah rasa kamu sudah hidup bahagia saat ini. Semoga kamu akan dan
selalu hidup bahagia ada ataupun tidak adanya ayah.
Ayah tidak mau
cerita panjang lagi, karena jujur saja untuk menulis tangan ayah sudah gemetar.
Dada ayah sakit. Ingin rasanya sebelum dibawa Tuhan ayah bertemu dengan kamu
dulu. Namun kamu tidak mau mengangkat panggilan ayah. Setidaknya kamu tidak
usah melihat ayah, kamu berbincang saja sama ibumu, kasihan dia. Tiap harinya
harus memendam rindu padamu.
Oh iya, ayah
ingin memberimu buku tabungan. Itu semua uang untukmu. Ayah sengaja menyimpan
semua kirimanmu dan ayah akan kembalikan untukmu lagi. Ayah tidak butuh uang
kamu, yang ayah butuhkan hanya pelukanmu. Sudah ya, nak. Ayah sudah tidak
sanggup lagi menulis. Bahagia terus anak ayah tersayang.
Dari ayahmu yang terus merindukan anak bungsunya
Seketika air mata turun dari mataku, dengan mata
kabur aku membuka buku tabungan. Jumlah uang yang besar menyapa mataku, membuat
aku semakin menangis. Rasanya aku ingin menyalahkan diriku sendiri. Rasanya aku
ingin memarahi diriku sendiri.
Sekarang aku menyesal, benar-benar menyesal akan
sikapku yang jahat pada ayahku. Ingin rasanya mengulang hidup kembali. Namun
tidak mungkin. Aku hanya ingin mengatakan pada semua orang kalau kita harus
tetap baik bagaimanapun orang tua bersikap. Karena kita tidak tahu alasan di
balik perbuatan orang tua.
Hidup dengan penuh penyesalan sangatlah tidak
menyenangkan. Jadi, sekali lagi aku ingatkan agar kalian semua dapat menyayangi
orang tua kalian bagaimanapun sikap mereka.