Setiap generasi, berhak
mendapatkan pengetahuan yang sama dan kehidupan lebih baik. Tapi, tiap generasi
tak selalu beruntung mendapatkan kesempatan itu. Kendalanya, tidak setiap tiap
generasi lahir di sendok emas, tercukupi secara materi dan finansial. Sehingga,
pengetahuan hebat dan modern yang dapat menyejahterakan sebuah generasi, hanya
dinikmati mereka yang mampu membayarnya.
Selama ini, kita
meyakini, hanya dengan pengetahuan dan pendidikan yang baik, sebuah teror
kemiskinan, dapat dihentikan. Namun, jika yang kita yakini itu dipajang dalam
etalase mahal, hanya kalangan tertentulah yang dapat menyentuhnya. Kalaupun terbuka kesempatan
untuk yang tidak mampu, ada prasyarat, miskin tapi juara. Di situ terwadahi
oleh yang kita sebut, beasiswa.
Akhir pekan lalu, di
bilangan Sawangan, Depok, dalam dialog bersama anak-anak yang putus sekolah di bangku SMA, terlontar
pertanyaan-pertanyaan yang menyedak. “Saya bukan juara di sekolah, keluarga
saya miskin hingga
saya harus putus sekolah. Apakah karena saya bukan juara, haram untuk dapat
beasiswa?” kata Azizah, penanya kritis itu membuat tenggorokan tercekat.
“Apa karena itu,
kemudian masa depan kami selesai. Koruptor dan orang-orang yang selama ini kita
lihat hebat tapi pembohong, bukankah dulu mereka juara dan lulusan dari
perguruan tinggi terkenal. Mereka dari lulusan sekolah terbaik?” Azizah makin
menghujam dalam. Dulu, ia putus sekolah di bangku SMP kelas satu, karena tak
punya biaya. Tapi, ia punya kemauan kuat untuk sekolah.
Kemudian, remaja yang
sejak kecil jualan makanan itu, bergabung di sekolah terbuka. Kini, ia lulus
UAN SMA, meski sekolahnya hanya di lapangan dan numpang di surau-surau. Menjadi murid sekolah terbuka,
perlu mental kuat. Azizah masih ingat, tatkala mau numpang di sebuah SMP
negeri, pintu kelasnya diborgol, tak boleh masuk. Ia dan teman-temannya saat
itu menangis. Hatinya tercabik-cabik. Pendidikan, ternyata kerap pula membuat
hati sebuah generasi terluka.
Selama menempuh sekolah
terbuka dari SMP sampai SMA, Azizah dan teman-temannya, patungan membuat
seragam sendiri. Meski tak wajib, tapi mereka ingin merasa bangga mengenakan
seragam sekolah. Di mana pun ruang belajar, tak penting. Lapangan, sawah,
surau, masjid, hingga bekas kandang kambing tak jadi soal. Bagi mereka, ilmu
hadir di mana saja, meski kenyataannya sebagian besar dipenjara dalam etalase
kemewahan.
Dalam sedu sedan
menuntut ilmu di ruang bebas itu, terdapat orang-orang hebat yang disebut
Azizah, sebagai Guru Relawan. Mereka orang-orang yang menyedekahkan
pengetahuannya untuk dibagi ke semua generasi lintas sekat. Tak ada gaji, guru
relawan itu kepuasannya jika ilmu yang diberikannya dapat mengubah hidup
generasi seperti Azizah, jadi lebih baik.
Kini, setelah lulus,
Azizah berniat kembali ke komunitasnya. Kali ini tak sebagai murid, tapi ia
akan menjadi guru. Dengan segala keterbatasannya, ia ingin pengetahuan dapat
dinikmati semua generasi. Ia tak mau lagi, melihat sebuah generasi trauma
melihat pintu kelas diborgol. Azizah, ingin memberi beasiswa bagi anak-anak
yang tidak juara tapi miskin. Meski hanya di sekolah terbuka.
sumber : Baznas