Tokoh Shinta dalam film "Asa" yang diadaptasi dari kisah nyata penyintas kekerasan seksual. (Foto: screengrab) |
“Shin, kamu kan belum kenal Alex. Kok kamu mau
diajak begituan?”
“Nggak tahu, Yun. Rasanya aku ini bodoh sekali.
Tetapi dia itu orangnya baik, pintar banget merayu.”
“Aku dikasih tahu, kalau Alex sudah punya istri...”
Itu
adalah sepenggal dialog antara Shinta dan teman sekolahnya dalam film berjudul
"Asa." Shinta dikisahkan sebagai remaja korban kekerasan seksual oleh
laki-laki yang baru dikenalnya di media sosial.
Cerita
ini diadaptasi dari kisah nyata seorang remaja berinisial AL. Dia hamil karena
kekerasan seksual yang dialami, dan kemudian didampingi oleh lembaga advokasi
perempuan Rifka Annisa di Yogyakarta. Bukannya menyerah dan menerima tawaran
damai dari pelaku, Shinta dengan dukungan orang tua berani menempuh jalur
hukum.
Indiah
Wahyu Andari, manajer divisi pendampingan Rifka Annisa menyebut, kisah Shinta
menarik, salah satunya karena sikap orang tua yang memilih berpihak kepada
korban.
"Akhirnya
korban mendapatkan dukungan untuk memperoleh keadilan bagi dia. Dalam hal ini orang
tua menempuh proses hukum. Dan ketika korban mendapatkan keadilan, itu
mendorong proses pemulihan psikologis semakin cepat,” kata Indiah.
Gambaran Perjuangan Korban
Film
pendek berdurasi 21 menit ini diproduksi Rifka Annisa bekerja sama dengan Onomastika
Films dan Rutgers WPF. Secara resmi, film ditayangkan perdana pada 17
Juli 2020 melalui platform Youtube. Pada Senin (20/7), Rifka Annisa menggelar
diskusi daring, untuk mengupas latar belakang, proses produksi dan pertimbangan
pembuatan film tersebut.
Cuplikan adegan film "Asa" saat tokoh Shinta memutuskan untuk tidak menikahi pelaku. (Foto: Screengrab) |
Sejak
1993, Rifka Annisa menangani rata-rata 300 kasus setiap tahunnya. Khusus kasus
kekerasan seksual, kata Indiah, fenomenanya cukup menarik karena dialami oleh
korban dalam rentang usia Balita hingga Lansia. Data 2016-2019, mayoritas
korban kekerasan seksual berupa perkosaan dan pelecehan seksual yang
didampingi, berusia 12-17 tahun.
Rifka
ingin memotret fenomena kekerasan seksual remaja termasuk lingkaran sosial yang
berpengaruh di dalamya. Ada lingkaran yang mempengaruhi seseorang sehingga
rentan menjadi korban dan juga rentan menjadi pelaku. Lingkaran lain yang
sangat berperan dalam penyelesaian kasus, adalah keluarga korban.
Di
kehidupan nyata, AL yang menginspirasi film ini akhirnya dikeluarkan dari
sekolah. Namun dia kemudian berani menuntut pelaku ke jalur hukum. AL telah
melahirkan bayinya dan berperan sebagai orang tua tunggal. Dia juga
menyelesaikan pendidikan Paket C setara SMA dan menekuni usaha jasa boga.
Pelaku, seorang laki-laki yang sudah beristri, sedang menjalani hukuman 10
tahun penjara.
Dalam
film itu, tokoh Shinta menjalani proses hukum selama hampir satu tahun sampai
putusan.
"Bagaimana
dalam film, pengalaman panjang itu digarap dalam durasi singkat, tetapi
pesannya tersampaikan. Dengan fim ini, kita berharap bisa memahami dinamika
korban kekerasan, karena dia biasanya cenderung disalahkan,” kata Indiah.
Dramatisasi Berdasar Fakta
Loeloe
Hendra, sutradara sekaligus penulis naskah film ini mengaku memiliki banyak
tantangan dalam proses produksinya. Diskusi panjang dilakukan bersama Rifka
Annisa untuk memilih cerita terbaik, sekaligus menentukan sudut pandangnya.
Menurut
Loeloe, orang-orang yang tidak mengalami kasus kekerasan seksual seperti yang
dialami AL, akan cenderung melihat dari sisi negatif.
"Saya
pribadi melihat, ini menjadi satu potensi wacana yang bisa dibicarakan dan
menarik dijadikan gagasan untuk disampaikan ke banyak audiens,” kata Loeloe
dalam diskusi daring tersebut.
Dalam
diskusi juga dibicarakan, pada awalnya kisah AL akan dijadikan film dokumenter.
Shinta dikeluarkan dari sekolah karena hamil dan mengambil Paket C setara SMA. (Foto: Screengrab)
Keluarga AL sendiri telah menyetujui format tersebut. Namun dalam diskusi
lanjut, untuk menjamin keamanan korban dan keluarga, dan menghindari persoalan
hukum, dipilihlah bentuk film adaptasi seperti saat ini.
Loeloe
mengaku, sebagai sutradara dan penulis naskah laki-laki, dia berupaya untuk
obyektif dalam setiap proses. Dari keseluruhan kisah nyatanya, telah dipilah
titik-titik tertentu yang akan digambarkan dalam film. Proses dramatisasi juga
dilakukan untuk menguatkan pengalaman menonton bagi audiens. Namun, meski sejak
awal film ini akan diputar melalui Youtube, Loeloe tetap membatasi dramatisasi
yang dilakukan.
“Saya
mencoba mengakomodir bagaimana bahasa film bisa hadir, di sisi lain karena
memang ini berawal dari situasi atau kejadian yang nyata, kami tetapi harus
menghadirkan fakta-fakta di lapangan yang benar-benar terjadi,” kata Loeloe
dari Onomastika Films.
Bukti Advokasi Membawa Hasil
Kisah
Shinta adalah bukti ada begitu banyak perubahan di kalangan remaja dan
lingkungan yang melingkupinya. Penilaian ini disampaikan Deshinta Dwi Apriani,
dosen Departemen Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga menjadi
pembicara diskusi.
Kata
Deshinta, apa yang terjadi pada Shinta atau AL dalam kehidupan nyata, akan
sangat berbeda pada 20 tahun yang lalu.
“Film
Asa ini salah satu bentuk, bagaimana remaja ditempatkan tidak lagi sebagai
obyek. Tapi justru apa yang dirasakan oleh Shinta dari pengalaman kehamilannya
itu adalah sebagai titik awal untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi dalam
masyarakat kita. Apa yang terjadi pada remaja kita,” papar Desintha.
Dalam
buku-buku yang mengupas budaya Jawa, remaja hamil akan dikatakan sebagai aib,
tidak hanya bagi keluarganya saja tetapi juga bagi lingkungan. Korban biasanya
tidak bisa menolak jika kemudian jalan keluar yang disepakati adalah
pernikahan. Padahal, kehamilan ini adalah sesuatu yang tidak diharapkan oleh
korban. Stigma juga akan dikenakan kepada korban yang semakin mendorongnya
untuk tidak bisa menolak pernikahan.
"Apa
yang terjadi pada Shinta adalah sesuatu yang baru. Dia menjadi agen untuk
membongkar apa yang terjadi pada masyarakat kita saat ini," kata Desintha.
“Saya
pikir ada perbedaan cara pandang yang menunjukkan bahwa kehidupan remaja sekarang
ini memiliki perbedaan dengan kehidupan remaja perempuan dulu. Kapasitas mereka
juga sudah berbeda,” tambah Desintha.
Shinta
secara tegas berani mengatakan bahwa dirinya tidak mau menikah. Dia juga
meyakini bahwa menikah bukan jalan keluar dari persoalan tersebut. Faktor
pendidikan bagi remaja perempuan, juga dinilai berperan dalam kemampuan Shinta
melakukan negosiasi untuk memilih jalan keluar yang dia yakini. [ns/ab]