Seorang cowok bertahan tanpa lelah sembari memacu
keringatnya yang bercucuran membasahi tubuhnya. Nafasnya mulai terengah-engah
sejalan dengan waktu. Banyak orang yang ingin memberinya seteguk air, tapi ia
menghiraukannya. Ia tetap melanjutkan kegiatannya itu. Matahari mungkin
sekarang tak bersahabat, karena memancarkan terik yang menyengat. Tetapi angin
segar memberinya kenikmatan yang tak terbatas. Bersama detak jantung yang tak
terkendali ia merasa bahwa kini ia telah bebas. Gemuruh-gemuruh riuh menyemangatinya
seraya ingin mendapat perhatian darinya. Ia merespon dengan tampilannya yang
membuatnya menjadi juara, menjadi idola, dan menjadi yang paling keren di
antara mereka.
Tiba-tiba kesenangan yang ia rasakan saat itu luntur seketika. Disaat bola yang
ia mainkan mendarat di kepala seseorang yang tak pernah ia duga.
“Hei… lo nggak papa?.” tanyanya panik saat itu.
“Ng… nggak, nggak papa kok.” ucapan orang itu terbata sambil memegangi kepala
yang kian menjadi.
“Hei, liat gue!. Biar gue bisa liat keadaan lo!.”
Ia pun menegakkan kepala orang itu yang sedari tadi tertunduk. Lalu menatap
matanya dengan tajam.
“Aiska…!” kagetnya
Sejenak hening!!!
“Mungkin ini kedua kalinya lo natap gue dengan tatapan yang sama.” orang itu
mulai angkat bicara, setelah tertunduk tak berdaya.
“Mungkin juga perasaan lo sama kayak waktu gue natap lo untuk pertama kalinya.”
“Bisa aja enggak, kali ini gue nggak akan ngerasain hal yang sama.” jawabnya
terlihat sinis.
Saat itu juga…
“Devan… siapa tadi yang kena bola? Dia nggak kenapa-napakan?.” tanya Yasmeen
(kapten cheerleader).
Devan hanya terdiam, entah ia harus bicara apa.
Devano Alandana Zaind. Itulah kapten basket yang jadi idola di seluruh sekolah
di daerahnya.
“Gue nggak papa, gue harus pergi. Ada tugas yang belum gue selesain.” pamit
Aiska
Aiska Valencia Adhnand. Teman SMP Devan, yang dulu
pernah debat heboh sama Devan gara-gara salah paham. Sampai Aiska harus pindah
sekolah sesuai keinginannya agar tidak berselisih lagi dengan Devan. Sekarang
ia bertemu lagi dengan Devan dan satu SMA dengannya.
Salah paham itu dimulai ketika Devan menuduh Aiska yang membeberkan trik basket
clubnya ke club lawan Devan. Devan dan Aiska satu club di salah satu club
olahraga Bandung. Devan basket sedangkan Aiska tennis lapangan. Aiska mengelak
apa yang dikatakan Devan, Aiska mengaku ia tidak ikut campur tentang masalah
basket Devan. Ia tidak berbicara apapun dengan Roni, kapten tim basket musuh
Devan. Akan tetapi Devan tak mempercayainya. Karena tim basket Roni bisa sampai
mengalahkan timnya. Padahal sejak dulu tim Roni tak pernah bisa mengalahkan
timnya. Dan selalu menjadi Runner Up. Karena sangat terpukul dengan omongan
Devan akhirnya pun Aiska keluar dari club dan pindah sekolah.
Kejadiannya begini,
Beberapa pekan yang lalu…
Waktu itu Aiska dan Roni ketemuan. Aiska mewakili ayahnya yang tidak bisa
bertemu dengan ayahnya Roni untuk menyerahkan dokumen perusahaan. Ayah Aiska
dan ayah Roni terikat kerja sama perusahaan. Karena ayah Aiska sedang di luar
kota. Dan ibunya sibuk mengurus fashion weeknya, dengan terpaksa Aiska harus
bertanggung jawab atas dokumen itu. Sedangkan ayah Roni asam muratnya kambuh
kambuh, saat bersiap ingin menerima dokumen itu. Kebetulan Roni sedang santai
di rumah. Jadi dia yang nganbil dokumennya. Sementara ibunya mengantar ayahnya
ke rumah sakit.
Mereka janjian di sebuah caffe. Di sana sudah ada Roni yang menunggu Aiska.
Beberapa saaat kemudian terlihat seorang cewek menuju meja Roni.
“Sorry, lo udah nunggu lama ya?” maaf Aiska.
“Nggak kok, biasa aja. Cepetan mana dokumennya!” jawab kasar Roni.
“Iya, iya. Dingin banget jadi cowok!” protes Aiska.
“Oke. Emang gue nggak kayak cowok lo itu!”
“Cowok gue? Siapa? Perasaan gue belum punya pacar deh!”
“Siapa lagi, si kapten basket tuh!”
“Devan? Gue nggak pacaran ama dia. Kita cuma temenan.” ngaku Aiska.
“Masa’ sih, keliatannya nggak gitu!”
“Mata lo aja yang nggak bener!”
“Sekarang mana dokumennya?”
“Nih!. Dasar bawel!.”
Saat itu juga Devan memperhatikan mereka dari
mejanya yang tidak jauh dari meja Aiska dan Roni. Devan berpikir dokumen yang
diberikan Aiska ke Roni berisi tentang trik-trik basket club Devan. Mulai saat
itu timbul rasa benci dalam hati Devan terhadap Aiska.
Keesokan harinya…
“Ngapain lo masih ke sini?.” tanya kasar Devan.
Aiska hanya bingung tentang pertanyaan Devan.
“Apa maksud lo Van? Gue nggak ngerti, emang gue masuk club ini kan?”
“Dasar penghianat!. Masih sempet-sempetnya lo bilang ini club lo!.”
“Jadi orang jangan munafik gitu!.” ditambah kata menyakitkan dari Yasmeen.
“Maksud kalian pengkhianat apa?”
“Jangan sok melas deh lo!. Nggak merasa bersalah lagi!” bentak Devan.
“Ngaku aja deh, lo ngasih tau trik basket club kita kan ke Roni?” tanya sewot
Yasmeen.
“Enggak, aku… aku nggak ngasih!.”
“Diem! Gue tuh percaya banget sama lo lebih dari siapapun. Tapi, sekarang gue
ragu dan nggak mau lagi percaya sama lo!” potong Devan.
“Van, lo tuh salah paham!.”
“Iya, gue salah… udah percaya ama lo!. Lebih baik lo tinggalin club ini. Lo
pergi jauh dari gue. Dan jangan pernah nemuin gue lagi. Gue muak liat muka lo.”
Aiska kaget mendengar kata kata yang belum pernah ia dengar dari mulut Devan.
“Oke!. Gue akan turutin semua mau lo!. Thanks, udah ngusir gue… secara…
baik-baik!.”
Aiska berlalu.
Setelah beberapa pekan Aiska pindah. Devan dan
teman-teman clubnya menyadari bahwa yang membeberkan trik milik club basketnya
ialah temannya sendiri, bukan Aiska. Dia Nolan yang ternyata sepupu Roni.
Kembali ke lapangan basket
“Ka, sorry untuk kesalahan besar gue sama lo…!” ucap Devan saat Aiska mulai
bergegas pergi.
“Sorry aja nggak cukup Van, lo bisa bilang sorry sama gue. Udah gue maafin,
dari dulu. Tapi kesalahan lo nggak akan pernah bisa gue lupain. Lo bisa aja
ngelakuin ini sama gue. Tapi gue nggak akan ngerasain perlakuan lo lagi untuk
kedua kalinya. Maaf, gue nggak bisa jadi temen lo!.”
Aiska berlalu.
Setelah Aiska sudah pergi Devan dan Yasmeen kembali
ke gerombolan clubnya.
Devan hanya berlutut sambil memukul lapangan dengan kepalan tangannya.
“Devan… Devan!. Udah Van itu kesalahan masa lalu.”
tenang Yasmeen.
“Van… loe jangan frustasi kayak gini. Sekarang loe harus lihat masa depan,
bukan masa lalu!.” tambah Albert, teman club Devan.
“Gue nggak bisa kayak gini terus, gue nggak mau hidup dengan kekangan
kesalahan.”
Hari Minggu yang menyenangkan, mungkin sekarang
tinggal kenangan. Hari dimana hanya ada senyum di antara Aiska dan Devan. Toko
buku, yang jadi tujuan mereka untuk dikunjungi. Sekarang mungkin ketika Devan
pergi ke toko buku, ia hanya memandangi buku-buku berjejer rapi, melamun
mengenang masa indah dulu. Begitu juga Aiska. Dulu Devan dan Aiska cukup dekat.
Karna Devan dan Aiska pernah satu bangku bus pengantar atlet untuk ke Jakarta,
jadi mereka bisa kenal satu sama lain. Saat itu Aiska terlambat masuk ke bus,
entah karena apa ia sampai terlambat. Pas itu juga Devan lagi duduk sendiri.
Devan lihat Aiska waktu itu panik banget, jadi Devan nawarin tempat duduk.
Beruntung banget Aiska… bisa satu bangku sama cowok paling ganteng se-club
basket di Bandung.
Pagi ini di lapangan basket sudah ada Devan dengan
lincah memainkan bola basketnya. Sendirian…
Sesaat kemudian, Devan menyadari bahwa ada seseorang yang memperhatikannya dari
tadi. Ia menoleh…
Saat orang yang memperhatikan Devan mengetahui bahwa
Devan tahu ia sedang memperhatikannya dengan jeli, ia bergegas pergi.
“Aiska, tunggu!.” cegah Devan dengan nada dingin sambil memegangi tangannya.
Mereka menatap satu sama lain seperti hanya hati mereka yang berbicara.
“Kenapa Van…?.”
“Gue mungkin punya kesalahan besar sama lo, gue udah minta maaf. Entah lo maafin
atau enggak. Entah lo dendam sama gue. Terserah lo mau ngelupain gue atau
jauhin gue.
Tapi plis, gue mau ngomong sesuatu sama lo… dan ini
penting.”
“Apa yang perlu lo omongin lagi, maaf lagi?.”
“Gue mohon dengerin gue!. Ini menyangkut perasaan dan masa depan gue!.”
Akhirnya Aiska menyerah.
“Ya… tapi jangan lama-lama.”
“Oke!. Gue tahu lo nggak bakal mau nerima gue, entah jadi temen lo atau lebih
dari itu.”
“Maksudnya ‘lebih dari itu’?.”
“Gue udah nunggu sejak lama momen ini. Mungkin lo nggak percaya gue ngomong
gini!. Ka… dulu gue pernah nyakitin lo. Sampek lo pergi dari kehidupan gue.
Tapi itu nggak akan terulang lagi, gue akan slalu jagain lo, gue akan slalu
ngelindungin lo. Gue sayang sama lo Ka…!.” jelas Devan.
“Maksudnya lo… itu?.”
“Iya, gue cinta sama lo. Gue mau lo jadi yang
terindah di hati gue. Lo mau nggak… jadi… pacar gue…?.”
“(Aiska masih tak percaya). Loe… nembak gue?.”
“Iya. Dan itu nyata, bukan mimpi. Udah gue duga lo pasti kaget dan nggak
percaya. Satu-satunya orang yang bisa bangkitin gue dari masalah itu lo. Orang
yang bisa buat gue senyum itu lo. Orang yang mandang gue bukan karena gue
ganteng atau gue ngehits, itu lo. Meski lo akhirnya njawab ‘nggak’ dari
pertanyaan gue ini, tapi gue tetep harus ngungkapinnya. Dari pada gue harus
mendem perasaan ini sampek nanti. Dan perasaan ini juga yang buat gue sedikit
agak gila.” jelas Devan
“(Aiska sedikit agak tersenyum). Gue percaya dan kagum sama lo, karna lo udah
berani ngungkapin perasaan lo di depan gue. Memang… gue marah sama lo gara-gara
waktu itu. Gue mulai untuk ngelupain lo. Tapi nggak bisa. Jujur untuk pertama
kalinya lo natap gue… di bus itu, perasaan gue nggak nentu. Entah gue udah
jatuh cinta sama lo, atau itu emang perasaan yang cuma lewat aja. Dan perasaan
itu muncul lagi saat lo natap gue kemarin… dengan tatapan yang sama.”
“Jadi…?” tanya Devan
Aiska tak menjawab.
“Kalo lo nggak mau jawab, nggak papa. Gue bisa ngerti. Mungkin lo harus mikir
lebih jauh lagi. Mana bisa lo mencintai orang yang udah nyakitin lo. Ge-er
banget kan gue. Mungkin gue mimpi terlalu tinggi. Oke… Gue tunggu jawaban lo.”
Devan berbalik dan berjalan perlahan.
“Iya… Van.!”
Devan berhenti seketika.
“Apa Ka…?”
“Van, gue mau jadi pacar lo.”
Senyum mengembang di wajah mereka. Devan langsung memeluk Aiska.
“Makasih Ka!.”
“Makasih juga Van, lo udah sayang sama gue.”
“Akhirnya mimpi gue terwujud!.”