Dahulu televisi merupakan sarana hiburan yang
menyenangkan untuk anak. Anak-anak sangat antusias menonton tontonan anak
seperti kartun-kartun yang dahulu pernah menemani masa kecil kita.
Minggu pagi menjadi hari yang dinanti-nanti oleh
setiap anak. Mereka dengan bahagia menonton televisi sambil melakukan kegiatan
lain. Bagaimana dengan tayangan televisi sekarang?
Media memiliki manfaat untuk pendidikan, kemajuan
mengungkapkan informasi yang sebelumnya tidak diketahui . Tetapi media juga
memiliki pengaruh buruk yang merusak. Situasi ini mengharuskan untuk berpikir
agar dapat memilih antara hal yang bermanfaat dan yang tidak.
Tayangan televisi sudah berkembang dengan pesat
“katanya”. Masyarakat dapat dengan mudah mengakses berbagai tayangan tanpa ada
batasan usia. Tayangan yang mengandung unsur kekerasan, permasalahan rumah
tangga, pornografi, percintaan, berjoget dengan memperlihatkan kemolekan tubuh
sangat mudah ditemukan dalam tayangan kita sehari-hari dan dengan mudah diakses
oleh anak-anak.
Sangat tidak pantas apabila anak-anak secara
terus-menerus menonton tayangan yang memberikan pengaruh negatif. Tayangan yang
mengandung unsur percintaan, pornografi, perkelahian semakin hari semakin marak
ditemui. Terlebih lagi tayangan yang mempertontonkan artis-artis seksi yang
dikenal dengan sensasinya dibandingkan prestasinya. Setidaknya televisi dapat
menampilkan tayangan-tayangan tersebut pada waktu yang tepat.
Televisi saat ini memiliki saluran yang beragam,
begitu juga dengan tayangan di dalamnya. Tetapi mengapa tayangan yang tidak
mendidik seperti sinetron, FTV percintaan anak sekolah yang tidak mengedukasi
anak-anak justru tayang pada jam-jam yang dapat diakses oleh anak-anak?
Jangan heran apabila anak-anak sekarang mengenal
percintaan lebih cepat, bahkan dijuluki dengan "generasi micin" yang
dapat diartikan juga generasi yang bodoh. Hal itu karena sesuai dengan tayangan
yang mereka konsumsi yang tidak mengedukasi dan lebih ke arah pembodohan.
Bukan berarti kartun merupakan tayangan yang ramah
anak-anak. Tidak semua kartun ramah dikonsumsi oleh anak-anak. Meskipun Namanya
kartun, tetapi di dalamnya masih memuat unsur-unsur kekerasan atau perkelahian.
Di sinilah peran orang tua yang perlu memperhatikan dan memantau apa yang
sedang ditonton oleh anak-anaknya.
Masalahnya tidak semua orang tua menyadari dampak
yang akan diakibatkan oleh tayangan televisi tersebut. Orang tua yang tidak
menyadari hal tersebut cenderung membiarkan anak-anaknya menonton kartun yang
memiliki unsur kekerasan apalagi bila menonton film atau sinetron dewasa yang
di dalamnya mengandung intrik, percintaan di sekolah, perselingkuhan, hewan
jadi-jadian yang tidak dapat dicerna oleh akal pikiran dan banyak lagi.
Hal-hal tersebut bagaikan dilema di kalangan media
televisi. Masyarakat selalu mendesak agar televisi menayangkan tayangan yang
positif. Namun di sisi lain tayangan yang “sampah” justru ditonton dan memiliki
rating yang tinggi. Seharusnya televisi lebih bijak dalam menyaring
tayangan/program yang ada.
Katanya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memiliki
tujuan untuk mencerdaskan bangsa. Tetapi tayangan disajikan justru sebaliknya
dan seolah media televisi tidak mau tahu apabila penontonnya menjadi bodoh atau
tidak bermoral.
KPI seharusnya menyadari dengan memperlakukan
tayangan untuk anak-anak, remaja, dan usia dewasa secara berbeda. Apabila KPI
yang terhormat tidak bisa menjaga apa yang ada di media sosial, paling tidak
fasilitasilah tayangan televisi agar menarik untuk ditonton sesuai segmen
masing-masing.